Catatan Hary B Kori’un *)
PEKAN Olahraraga Provinsi (Porprov) Riau VIII yang dihelat di Indragiri Hulu (Inhu) 18-24 Oktober 2014 adalah pesta olahraga bagi seluruh atlet di daerah ini yang terpilih mempekuat kabupaten/kota masing-masing. Ini merupakan momen untuk mengukur pembinaan yang dilakukan oleh masing-masing induk cabang olahraga (cabor) masing-masing kabupaten/kota. Ukuran yang paling jelas adalah prestasi, mampu atau tidak si atlet berada di posisi puncak, dengan merebut medali emas, perak, atau perunggu. Namun, ukuran seperti itu jelas tak mutlak. Sebab banyak atlet berbakat yang kadang gagal karena faktor non-teknis, misalnya cedera, faktor lainnya. Jadi, sebuah iven tidak bisa menjadi ukuran mutlak untuk melihat prestasi seorang atlet. Namun, keberhasilan seorang atlet dalam sebuah iven, juga harus tetap dihargai bahwa dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan yang terbaik.
Pembinaan usia dini adalah elemen penting dalam dunia olahraga untuk mendapatkan prestasi saat usia emas. Di berbagai negara, pembinaan usia dini menjadi prioritas di hampir semua cabang. Di cabang sepakbola, kesuksesan Korea Selatan (Korsel) dan Jepang, adalah kerja keras mereka dalam membina pemain-pemain muda dengan menggunakan teknologi. Pemain-pemain muda berbakat ada yang dibina di dalam negeri, tetapi banyak juga yang dikirim ke akademi-akademi terbaik di Spanyol, Italia, Inggris, Belanda, atau Jerman. Jangan heran kalau pemain-pemain dari dua negara itu kini banyak yang bermain di klub-klub besar di Jerman, Italia, Inggris dan banyak negara Eropa lainnya. Pemain-pemain Jepang yang kini menonjol di Eropa antara lain Kaisuke Honda (AC Milan), Shinji Kagawa (Borussia Dortmund), Gotoku Sakai (Vfb Stuttgart), Shinji Okazaki (Mainz), Yuto Nagatomo (Inter Milan), dan lainnya. Sedang pemain Korsel yang kini lumayan menonjol adalah Ki Sung-Yeung (Swansea City), Son Heung-Min (Bayer Leverkusen), Ji Dong-Wo (Borussia Dortmund), Koo Ja-Cheol (Mainz), dan masih banyak lagi.
Sekadar mengingatkan, di tahun 1960-an hingga pertengahan 1980-an, kekuatan sepakbola Jepang dan Korsel nyaris setara dengan sepakbola Indonesia. Dalam berbagai turnamen yang digelar di Jepang atau Korsel seperti Piala Kirin atau Piala Presiden Korea, Indonesia selalu diundang. Pada tahun 1990-an, Jepang bahkan masih melakukan studi banding ke Indonesia untuk memperbaiki kompetisinya. Tetapi, kedua negara itu melakukan revolusi dalam pembinaan pemain muda, termasuk memperbaiki mutu kompetisi. Hasilnya, sepakbola Indonesia yang ramai dibicarakan hanya pertikaian dan skandal, menjadi tertinggal jauh. Liga Jepang dan Liga Korea kini menjadi kompetisi paling unggul di Asia.
Masih di cabang sepakbola, banyak klub besar yang berhasil menahbiskan dirinya sebagai pencetak pemain-pemain berbakat. Akademi Ajax Amsterdam menjadi lokomotif utama keberhasilan dalam mencetak pemain hebat. Meski belakangan meredup, namun di masa lalu, pemain-pemain hebat seperti Dennis Berkamp, Marc Overmars, Danny Blind, Frank dan Ronald de Boer, dan sekian ratus pemain hebat lainnya, lahir dari akademi ini. Johan Cruyff, salah seolang legenda Ajax dan Belanda, kemudian membawa formula kesuksesan Ajax itu saat dia melatih Barcelona. Dia bangun La Masia, yang kini sangat dikenal dalam melahirkan pemain muda. Xavi Hernandez, Sergi Basquet, Andres Iniesta hingga Lionel Messi, adalah produk nyata kehebatan La Masia. Model ini kemudian diikuti Real Madrid yang membangun Akademi Castilla, dan banyak lagi. Model-model ini kemudian berkembang dan sukses di klub-klub Jerman. Keberhasilan Jerman meraih gelar juara Piala Dunia 2014 adalah puncak dari kesuksesan klub-klub seperti Bayern Muenchen, Dortmund, Werder Bremen dan lainnya dalam melakukan pembinaan anak-anak muda.
Contoh lainnya, di tahun 1960-an hingga 1980-an, cabang bulutangkis hanya didominasi Indonesia, Malaysia, Inggris, Cina, Jepang, atau Denmark. Namun hari ini, sejak dipertandingkan di Olimpiade tahun 1992, banyak negara yang melakukan pembibitan dan belajar dari negara-negara “maju” bulutangkis. Hasilnya, Korsel menjadi kekuatan besar, yang diikuti India, Thailand, Rusia, Belanda, Jerman, Australia, bahkan Italia dan Amerika Serikat (AS). Bulutangkis sudah menjadi salah satu cabang yang populer karena banyak negara melakukan pembibitan. Yang terjadi, grafik prestasi bulutangkis Indonesia mengalami penurunan ketika para saingan lain menjulang, dan negara-negara “kecil” unjuk gigi.
Membina memang mahal. Itu harus diakui. Untuk melahirkan seorang atlet yang berprestasi, perlu waktu lama dan dana yang tak kecil. Namun, itu harus terus dilakukan, seperti kita yang harus selalu melawan iblis, meski kita tahu iblis tak pernah mati. Harus terus dilakukan tanpa kenal lelah. Negara (dalam hal ini pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota) harus mengambil peran. Harus ada anggaran besar untuk olahraga, bukan hanya untuk mengikuti iven, pelatnas, dan sebagainya, tetapi juga untuk pembinaan usia dini, terutama untuk cabang-cabang amatir.
Di Riau, berdirinya SMA Olahraga dan beberapa Pusat Pembinan dan Latihan Pelajar (PPLP) di bawah Dinas Pendidikan dan Dinas Pemuda dan Olahraga, adalah sebuah terobosan positif yang harus terus didukung. Banyak atlet berpotensi yang lahir dari dua model pembinaan ini, selain klub-klub yang juga tetap hidup. Semakin banyak pembinaan model ini dilakukan, akan semakin banyak bibit muda olahraga lahir di tanah Riau. Awalnya memang berat dan tak langsung memberikan prestasi instan, tetapi di masa datang, jika ini tetap dipertahankan, bukan tidak mungkin mereka akan berprestasi tinggi. Bahkan, juga bukan tidak mungkin suatu saat Riau akan menjadi salah satu daerah penghasil atlet berprestasi yang bisa “diekspor” ke daerah lain.
Jika dalam PON 2012 lalu Riau masih menggunakan jasa beberapa atlet dari luar Riau untuk mendongkrak prestasi, di masa datang, dengan pembinaan yang baik, hal itu pasti tak akan terjadi. Hari ini, Riau unggul di cabang dayung dengan memanfaatkan sumber daya dan dasar yang sudah ada, yakni lomba pacu jalur tradisional yang sering dipentaskan di Kuantan Singingi atau Indragiri Hulu. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh M Amin, pelatih dayung Riau, lewat program PPLP. Hasilnya, pedayung-pedayung Riau tidak hanya hebat saat membela Riau di berbagai iven nasional, tetapi juga memberikan yang terbaik saat membela Indonesia di berbagai iven internasional.
Begitu juga di cabang anggar atau taekwondo. Salah satu taekwondoin Riau yang mendunia adalah Aulia Ramadhan. Keberhasilannya menjadi juara di kejuaraan dunia di Bali, membuat Aulia kini tetap menjadi andalan Indonesia di berbagai cabang, termasuk persiapan kejuaraan dunia di Meksiko. Dan masih banyak lagi contoh kesuksesan atlet asli Riau yang dibina di Riau yang berprestasi tinggi.
Maka, Porprov VIII 2014 sudah selayaknya menjadi ajang unjuk gigi atlet-atlet binaan asli Riau. Sangat tidak elok kalau dalam iven seperti ini ada kabupaten/kota yang memakai tenaga atlet provinsi lain, karena ini tak baik bagi pembinaan. Di masa lalu, banyak kabupaten/kota yang menggunakan atlet provinsi lain di Porda atau Porprov. Mereka banyak yang berprestasi. Namun ketika KONI Riau memanggil sang atlet untuk dipersiapkan mewakili Riau di iven nasional maupun internasional, ternyata si atlet sudah tak ada di Riau.
Sekali lagi, pembinaan memang mahal, tetapi harus terus dilakukan jika ingin olahraga kita maju.***
*) Wartawan Riau Pos, staf Humas KONI Riau.